Punahnya Permainan Tradisional  

Posted by Rezki Ameliya H


Sejalan berkembangnya teknologi maka berkembang pula jenis mainan anak-anak. Di perkotaan anak-anak lebih banyak bermain di mal-mal. Mereka lebih mengenal permainan-permainan modern seperti timezone, PS, internet, dea-deo dsb. Sedangkan permainan-permainan tradisional seperti kasti, dakon, gundu, gobak sodor, engklek dll mereka tidak pernah tahu. Selain karena lingkungannya cenderung individual (hidup diperumahan) orang tua atau gurunya tidak ada yang mengajarkan. Bagaimana kalau permainan rakyat ini hilang dari Indonesia?

Solusi yang sederhana mungkin tiap-tiap sekolah (SD maupun TK) mengajarkan permainan-permainan tersebut kepada anak didiknya. Mengajarkan disini tidak hanya secara teori tetapi juga harus dipraktekkan. Jadi generasi anak-anak kita tetap mengenal budaya tradisional kita. Apakah takut kalau dikatakan tidak modern? Jangan takut, karena yang modern itu belum tentu semuanya baik. Jangan sampai kejadian reog di Malaysia terulang lagi. Siapa yang punya ide melestarikan budaya trasional silahkan memberi masukan ke blog ini.


Klik Disini Untuk Selengkapnya...

Pelestarian Budaya Tradisional Melalui Layar Kaca  

Posted by Rezki Ameliya H


Belum lama kita menghadapi masalah yang cukup menghebohkan lantaran budaya tradisional negeri kita tercinta ini dianggap telah dicuri oleh salah satu negeri tetangga. Semisal batik, angklung hingga lagu-lagu rakyat. Pencurian budaya tradisional itu menimbulkan amarah rakyat Indonesia yang tidak rela budaya mereka diakui sebagai milik negara lain.
Namun permasalahan itu juga membuat kita tersentak bahwa selama ini ternyata kita telah mengabaikan budaya tradisional sendiri sehingga kecolongan oleh bangsa lain yang lebih pandai memanfaatkannya untuk kepentingan mereka. Apakah kita memang patut dipersalahkan karena ternyata gagal memelindungi budaya bangsa sendiri? Sebenarnya tidak mudah menjawab pertanyaan itu.
Sebab kehidupan manusia sendiri tidak pernah statis dan pada seiring waktu akan selalu mengalami perubahan sosial termasuk pula budaya yang menurut Selo Soemardjan dan Soleiman Soemardi dari FISIP-UI adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Sehingga mau tidak mau kita akan mengalami perubahan dari budaya lama menjadi budaya baru yang mungkin sebagian atau seluruhnya berbeda dari sebelumnya.
Jika pada zaman dahulu perubahan budaya biasanya terjadi dalam waktu lama dan gradual, namun pada zaman yang kian modern berkat kemajuan teknologi dan juga globalisasi dalam segala aspek kehidupan manusia di bumi ini sehingga perubahan budaya terjadi cukup cepat dan tidak jarang radikal. Tidak heran jika di Indonesia pun terjadi kegamangan budaya karena intervensi budaya modern dari luar yang makin gencar.
Selain itu, generasi muda kita sebagai produk modernisme semakin kurang tertarik terhadap hal-hal yang berbau tradisi karena dianggap kuno, ketinggalan zaman dan hanya milik generasi tua belaka. Menghadapi keadaan itu, pemerintah dan segenap kelompok masyarakat yang peduli sebenarnya tidak tinggal diam. Karena bagaimanapun budaya tradisional patut dilindungi dan dilestarikan.
Apalagi jika menurut Drs. Tashadi, peneliti Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta bahwa dalam budaya tradisional terkandung nilai-nilai luhur pembentuk jati diri bangsa. Ketika nilai-nilai ini hilang dan tidak lagi dimengerti oleh generasi muda maka mereka hanya akan memiliki nilai-nilai global, dan hilanglah jati diri bangsa Indonesia ini. Masalahnya upaya-upaya pemeliharaan dan pelestarian budaya tradisional sampai saat ini tidak begitu mudah dilakukan di tengah serbuan budaya modern dari luar.

Selain masalah internal seperti kurang ketertarikan masyarakat Indonesia terutama generasi mudanya dan upaya pelestarian yang belum terasa gaungnya, juga terjadi masalah eksternal. Seiring dengan perkembangan zaman modern produk budaya bukanlah milik kolektif seperti ketika masa agraris melainkan milik individualis atau sekelompok etnis. Oleh karena itu, segala produk budaya termasuk kesenian kontemporer maupun tradisional pun diberi cap milik individu atau sekelompok masyarakat, bahkan sebuah bangsa.
Nah, ketika masyarakat kita lalai memberi cap tersebut pada produk budaya sendiri, terjadilah pencurian budaya oleh bangsa lain yang kemudian diklaim sebagai produk budaya bangsa tersebut. Oleh karena itu, menurut Prof. Dr. Edi Sedyawati, mantan Dirjen Kebudayaan, harus ada perlindungan budaya yang lebih jelas maka diperlukan sebuah undang-undang yang khusus untuk perlindungan karya budaya tradisional. Keanekaragaman budaya Indonesia yang terdiri dari ribuan etnis itu harus bisa dipatenkan agar tidak dicuri oleh bangsa luar untuk kepentingan sendiri.
Di samping itu, walau tidak mudah upaya-upaya pelestarian budaya kita harus tetap gencar dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah pementasan-pementasan seni budaya tradisional di berbagai pusat kebudayaan atau tempat umum yang dilakukan secara berkesinambungan. Upaya pelestarian itu akan berjalan sukses apabila didukung oleh berbagai pihak termasuk pemerintah dan adanya sosialisasi luas dari media massa termasuk televisi. Maka cepat atau lambat, budaya tradisional kembali akan bergairah
Indosiar sebagai stasiun televisi yang peduli budaya tradisional sebenarnya telah lama melakukan upaya pelestarian tersebut, bahkan sejak awal Indosiar berdiri. Pemirsa setia Indosiar tentu masih ingat tayangan dini hari pada akhir pekan beberapa waktu lalu yang menyajikan wayang kulit, kesenian tradisional dari pesisir Jawa Tengah. Saat itu para penggemar wayang kulit yang tadinya sukar menyaksikan kesenian kesayangan mereka itu karena langkanya pementasan di berbagai tempat dan juga jauh dari tempat tinggal, akan mudah menikmatinya di layar kaca tanpa harus beranjak dari rumahnya.
Saat itu, pencinta wayang kulit dapat menyaksikan bagaimana pertunjukan oleh dalang Ki Manteb Sudarsono yang terkenal sebagai dalang setan karena sabetannya. Selain itu, di layar kaca Indosiar pernah hadir beraneka ragam tayangan budaya tradisional lainnya seperti wayang golek dari Sunda yang dipertunjukkan oleh dalang Asep Sunandar Sunary dan kesenian ludruk modern Srimulat yang didukung oleh Basuki (alm), Timbul, Tessy, Asmuni (alm), Bendot (alm), Gogon, Kadir dan sebagainya. Bahkan Indosiar pernah menayangkan kesenian ludruk yang masih tradisional oleh Ludruk Bintang Timur pimpinan seniman Kirun pada tahun 2003.
Tidak hanya itu, Indosiar juga pernah secara rutin menayangkan kesenian ketoprak yang digarap oleh kelompok ketoprak Siswo Budoyo dari Tulungagung, Ketoprak Wahyu Budoyo dan Ketoprak Mataram dari Yogyakarta. Memang tayangan-tayangan kesenian tradisional di layar kaca Indosiar sempat absen beberapa waktu karena sesuatu hal, namun Indosiar tidak pernah lupa bahwa salah satu misinya adalah pelestarian budaya bangsa. Oleh karena itu, suatu saat Indosiar akan kembali menayangkan beraneka ragam tayangan budaya tradisional untuk pemirsa setianya. Semoga.
Oleh : Fachri Siradz

Klik Disini Untuk Selengkapnya...

Budaya Tradisional Makassar  

Posted by Rezki Ameliya H


Di wilayah Sulawesi Selatan suku bangsa Makasar menempati daerah Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Pangkajene, Maros, Gowa, dan Kepulauan selayar.

Dalam kebudayaan Makasar, busana adat merupakan salah satu aspek yang cukup penting. Bukan saja berfungsi sebagai penghias tubuh, tetapi juga sebagai kelengkapan suatu upacara adat. Yang dimaksud dengan busana adat di sini adalah pakaian berikut aksesori yang dikenakan dalam berbagai upacara adat seperti perkawinan, penjemputan tamu, atau hari-hari besar adat lainnya. Pada dasarnya, keberadaan dan pemakaian busana adat pada suatu upacara tertentu akan melambangkan keagungan upacara itu sendiri.

Melihat kebiasaan mereka dalam berbusana, sebenarnya dapat dikatakan bahwa busana adat Makasar menunjukkan kemiripan dengan busana yang biasa dipakai oleh orang Bugis. Meskipun demikian, ada beberapa ciri, bentuk maupun corak, busana yang khas milik pendukung kebudayaan Makasar dan tidak dapat disamakan dengan busana milik masyarakat Bugis.

Pada masa dulu, busana adat orang Makasar dapat menunjukkan status perkawinan, bahkan juga status sosial pemakainya di dalam masyarakat. Hal itu disebabkan masyarakat Makasar terbagi atas tiga lapisan sosial. Ketiga strata sosial tersebut adalah ono karaeng, yakni lapisan yang ditempati oleh kerabat raja dan bangsawan; tu maradeka, yakni lapisan orang merdeka atau masyarakat kebanyakan; dan atu atau golongan para budak, yakni lapisan orangorang yang kalah dalam peperangan, tidak mampu membayar utang, dan yang melanggar adat. Namun dewasa ini, busana yang dipakai tidak lagi melambangkan suatu kedudukan sosial seseorang, melainkan lebih menunjukkan selera pemakainya.

Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin pemakainya, busana adat Makasar tentu saja dapat dibedakan atas busana pria dan busana wanita. Masing-masing busana tersebut memiliki karakteristik tersendiri, busana adat pria dengan baju bella dada dan jas tutunya sedangkan busana adat wanita dengan baju bodo dan baju labbunya.

Busana adat pria Makasar terdiri atas baju, celana atau paroci, kain sarung atau lipa garusuk, dan tutup kepala atau passapu. Baju yang dikenakan pada tubuh bagian atas berbentuk jas tutup atau jas tutu dan baju belah dada atau bella dada. Model baju yang tampak adalah berlengan panjang, leher berkrah, saku di kanan dan kiri baju, serta diberi kancing yang terbuat dari emas atau perak dan dipasang pada leher baju. Gambaran model tersebut sama untuk kedua jenis baju pria, baik untuk jas tutu maupun baju bella dada. Hanya dalam hal warna dan bahan yang dipakai terdapat perbedaan di antara keduanya. Bahan untuk jas tutu biasanya tebal dan berwarna biru atau coklat tua. Adapun bahan baju bella dada tampak lebih tipis, yaitu berasal dari kain lipa sabbe atau lipa garusuk yang polos, berwarna terang dan mencolok seperti merah, dan hijau.

Khusus untuk tutup kepala, bahan yang biasa digunakan berasal dari kain pasapu yang terbuat dari serat daun lontar yang dianyam. Bila tutup kepala pada busana adat pria Makasar dihiasi dengan benang emas, masyarakat menyebutnya mbiring. Namun jika keadaan sebaliknya atau tutup kepala tidak berhias benang emas, pasapu guru sebutannya. Biasanya, yang mengenakan pasapu guru adalah mereka yang berstatus sebagai guru di kampung. Pemakaian tutup kepala pada busana pria mempunyai makna-makna dan simbol-simbol tertentu yang melambangkan satus sosial pemakainya.

Kelengkapan busana adat pria Makasar yang tidak pernah lupa untuk dikenakan adalah perhiasan seperti keris, gelang, selempang atau rante sembang, sapu tangan berhias atau passapu ambara, dan hiasan pada penutup kepala atau sigarak. Keris yang senantiasa digunakan adalah keris dengan kepala dan sarung yang terbuat dari emas, dikenal dengan sebutan pasattimpo atau tatarapeng. Jenis keris ini merupakan benda pusaka yang dikeramatkan oleh pemiliknya, bahkan dapat digantungi sejenis jimat yang disebut maili. Agar keris tidak mudah lepas dan tetap pada tempatnya, maka diberi pengikat yang disebut talibannang. Adapun gelang yang menjadi perhiasan para pria Makasar, biasanya berbentuk ular naga dan terbuat dari emas atau disebut ponto naga. Gambaran busana adat pria Makasar lengkap dengan semua jenis perhiasan seperti itu, tampak jelas pada seorang pria yang sedang melangsungkan upacara pernikahan. Lebih tepatnya dikenakan sebagai busana pengantin pria.

Sementara itu, busana adat wanita Makasar terdiri atas baju dan sarung atau lipa. Ada dua jenis baju yang biasa dikenakan oleh kaum wanita, yakni baju bodo dan baju labbu dengan kekhasannya tersendiri. Baju bodo berbentuk segi empat, tidak berlengan, sisi samping kain dijahit, dan pada bagian atas dilubangi untuk memasukkan kepala yang sekaligus juga merupakan leher baju. Adapun baju labbu atau disebut juga baju bodo panjang, biasanya berbentuk baju kurung berlengan panjang dan ketat mulai dari siku sampai pergelangan tangan. Bahan dasar yang kerap digunakan untuk membuat baju labbu seperti itu adalah kain sutera tipis, berwarna tua dengan corak bunga-bunga. Kaum wanita dari berbagai kalangan manapun bisa mengenakan baju labbu.

Pasangan baju bodo dan baju labbu adalah kain sarung atau lipa, yang terbuat dari benang biasa atau lipa garusuk maupun kain sarung sutera atau lipa sabbe dengan warna dan corak yang beragam. Namun pada umumnya, warna dasar sarung Makasar adalah hitam, coklat tua, atau biru tua, dengan hiasan motif kecilkecil yang disebut corak cadii.

Sama halnya dengan pria, wanita makasar pun memakai berbagai perhiasan untuk melengkapi tampilan busana yang dikenakannya Unsur perhiasan yang terdapat di kepala adalah mahkota (saloko), sanggul berhiaskan bunga dengan tangkainya (pinang goyang), dan anting panjang (bangkarak). Perhiasan di leher antara lain kalung berantai (geno ma`bule), kalung panjang (rantekote), dan kalung besar (geno sibatu), dan berbagai aksesori lainnya. Penggunaan busana adat wanita Makasar yang lengkap dengan berbagai aksesorinya terlihat pada busana pengantin wanita. Begitu pula halnya dengan para pengiring pengantin, hanya saja perhiasan yang dikenakannya tidak selengkap itu.

Klik Disini Untuk Selengkapnya...